Orang Ogan Katolik di Batu Putih Sumatra Selatan

Senin, 13 Februari 2012 14:18 WIB

Terbangan Ogan Katolik di Batu Putih
[Dok.Paroki]
Musik terbangan untuk menyambut kedatangan Mgr Aloysius Sudarso SCJ dalam acara peletakan batu pertama pembangunan pastoran dan gedung serbaguna Paroki Batuputih.
HIDUPKATOLIK.com - Para pemusik ”Terbangan”, beranggotakan tujuh orang lelaki, berpakaian adat Ogan, suku asli Sumatera Selatan. Tanjak gaya Melayu di kepala, sementara kemeja putih berserasi celana panjang hitam, berbalut kemban terlilit rapi di pinggang.

Mereka berjalan di antara sekitar 500 tamu sembari menabuh rebana mencipta ritmik hentak langkah mengiringi paduan suara Colours Choir yang berprosesi dari belakang panggung.

Setelah barisan paduan suara itu menempati panggung, pemusik terbangan pun undur diri. Perlahan kidung-kidung Natal pun mengalun syahdu penuh gairah. Dan, riuh penonton pun memecah ruangan, ketika Hudson Prananjaya mulai beraksi melengkapi pertunjukan malam itu.
Acara menjelang Natal ini, di Hotel Horison Palembang, Jumat, 9/12, ini bertajuk ”Charity Concert Colours Choir” digelar untuk penggalangan dana pembangunan pastoran dan gedung serbaguna Paroki Sang Penebus Batuputih, Sumatera Selatan. Uskup Agung Palembang, Mgr Aloysius Sudarso SCJ, hadir.

Selain bertujuan mengumpulkan dana, pertunjukan ini juga menjadi kesempatan mengangkat keberadaan Gereja Sang Penebus yang terletak di pinggiran sungai Lengkayap, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Umat Gereja ini sebagian besar adalah penduduk suku asli Ogan.

Orang menyebut penduduk ini sebagai orang Ogan, karena penduduk suku ini berdomisili di sepanjang Sungai Ogan. Daerah domisili mereka dimulai dari pegunungan Bukit Barisan di Barat Daya meluas hingga ke kota Palembang di Timur Laut.

Secara lokal, suku ini disebut juga orang Pegagan yang diidentifikasi sebagai penduduk pribumi Sumatera Selatan. Fakta bahwa nama Ogan begitu penting terlihat dari lima kabupaten yang memakai nama Ogan, yakni Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur.

Kota yang menjadi pusat kehidupan suku Ogan adalah Baturaja. Letak Baturaja strategis, karena berada pada jalur kereta api dari Pelabuhan Panjang (Lampung) menuju Lubuk Linggau dan Palembang. 

"Colours Choir" dalam acara penggalangan dana untuk pembangunan pastoran dan gedung serbaguna Paroki Sang Penebus Batuputih, Sumatera Selatan. [Elis Handoko] 

Tradisi lokal 


Terbangan merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki suku Ogan. Biasanya, terbangan dipadu dengan seni gerak dan vokal rudat. Dalam konteks keagamaan, umat Batuputih baru menggunakan terbangan dan rudat untuk mengiringi perarakan pada acara-acara penting. Misalnya, penyambutan tokoh tertentu, prosesi liturgis pada hari raya Natal atau Paskah. ”Karena hal praktis, malam itu terbangan ditampilkan tanpa rudat,” kata Mathias Cekwan Effendi yang malam itu menjadi salah seorang dari penabuh rebana.

Menurut Cekwan, dengan iringan musik terbangan serta rudat inilah masyarakat Ogan dulunya biasa berkumpul demi maksud tertentu. Berkumpul sambil bernyanyi, berbalas pantun atau pun bertutur. Rudat berfungsi memperindah tabuhan. Syair dan bahasa tutur meneguhkan pesan dari pertemuan tersebut.

Rudat sebenarnya mengeksplorasi gerakan pencak silat lokal. Namun, untuk keperluan pesan yang lebih membumi, Cekwan mengajak teman-temannya memodifikasi dengan gerakan lain. Yakni, gerakan yang menghembuskan nafas hidup umat yang sebagian besar adalah petani. Jadilah, dalam rudat kreasi umat Batuputih sekarang muncul berbagai gerakan ritmis seperti menanam, mencangkul, memanen dan sebagainya. Untuk meneguhkan pesan isi bahasa tutur, musik terbangan dan rudat pun berkembang. Hingga lagu-lagu rohani dan gerejani pun memakai bahasa setempat.

Gereja Ogan 

Gereja Sang Penebus Batuputih bermula sekitar tahun 1940, berangkat dari kegundahan batin empat tokoh setempat, yaitu Alwie, Abdoel Hoelik, Damseh, dan Alisyuni, beserta sejumlah warga lainnya. Di bawah bimbingan seorang tokoh, mereka tengah mencari sosok Sang Hakim Akhir berjubah putih yang mampu menyelamatkan.

Pada 1947, utusan dari tokoh tersebut pergi ke Baturaja, sekitar 10 km dari Batuputih, untuk bertemu dengan asisten residen pemerintah Belanda. Di situlah mereka bertanya, di manakah bisa ditemukan sosok yang mereka cari itu. ”Kamu bisa menemuinya di Palembang. Bertanyalah kepada Uskup di sana!” tutur Frederikus Samsuddin ‘menirukan’ jawaban sang asisten residen waktu itu.

Tokoh umat tersebut pergi ke Palembang dan menghadap Mgr Henricus Martin Mekkelholt SCJ, Vikaris Apostolik Palembang waktu itu. Menanggapi maksud mereka, Mgr Mekkelholt mengutus Pastor Theodorus Borst SCJ mengunjungi Batuputih. ”Sejak saat itulah, Pastor Borst datang dari Baturaja ke Batuputih dengan naik sepeda. Seminggu sekali Pastor Borst mengajar kami di halaman rumah salah satu warga,” kata Samsuddin (78).

Frederikus Samsuddin [Elis Handoko] 

Pada 31 Oktober 1948, ada lima keluarga memberikan diri dibaptis. Jumlah mereka sekitar 24 orang. ”Kami dibaptis oleh Pastor Borst di rumah Bapak Abdoel Hoelik. Itulah Ekaristi pertama di Batuputih ini. Kita ikut-ikutan saja. Kami masih heran karena baru pertama melihat piala yang terbuat dari emas,” kenang Samsuddin sebagai salah seorang baptisan perdana dari suku Ogan.

Tak lama kemudian, penggembalaan dilanjutkan misionaris dari Belanda bernama Pastor Leo Kwanten SCJ. Setiap Sabtu malam, ia mengumpulkan bapak-bapak. Lalu, Minggu sore, giliran ibu-ibu yang mendapat pelajaran agama. Pastor Leo selalu mengabsen yang hadir. Selain pelajaran agama, ia juga mendirikan rumah darurat untuk sekolah, yang sekarang berkembang menjadi SD Xaverius.

Cara hidup jemaat awal ini ternyata menarik bagi sejumlah warga Ogan lainnya. Baptisan gelombang kedua terjadi pada 17 Februari 1949, ada sekitar 10 keluarga yang dibaptis. Angka ini terus bertambah seiring perjalanan waktu. 

Menurut statistik 2010, umat di paroki ini berjumlah 3842 orang. Jumlah terbesar berada di stasi pusat Batuputih, yakni 987 jiwa (98 persen suku asli Ogan). Dari jumlah penduduk Batuputih ini, 60 persen di antaranya beragama Katolik. 

Selain peduduk asli, ada pula umat lain dari berbagai etnik, seperti Jawa, Batak, Tionghoa, Sunda, dan Flores, yang menyebar di 17 stasi atau ”tempat Misa” dalam sebutan orang Ogan. Stasi paling dekat berjarak 25 kilometer. Sedangkan stasi terjauh berjarak 110 kilometer dengan waktu tempuh empat jam dengan mengendarai mobil.

Kini, Gereja Katolik Batuputih telah berusia lebih dari 60 tahun. Sejak berdirinya, Pastor yang melayani selalu bertempat tinggal di Pastoran St Petrus dan Paulus Baturaja. Paroki ini belum memiliki pastoran yang memadai.
Elis Handoko

sumber:
hidupkatolik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar